this site
hukum melafadzkan niat, membaca al-fatihah bagi makmum jahriyah, bacaan basmalah

BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Permasalahan fiqih memang sangat kompleks jika kita tidak mengerti, tapi apabila kita mengerti sangat mudah sekali dalam menjalankan fiqih, khususnya dalam hal ibadah.
Diantara permasalahan yang masih menjadi pertentangan sampai saat ini ialah perdebatan tentang melafazdkan niat dalam sholat, empat madzab dalam hal ini berbeda dalam menyikapinya.
Permasalahan yang lain ialah tentang membaca al-fatihah bagi makmum jahriyah. Dalam hal ini ada yang bilang masih harus membaca, ada juga yang bilang tidak perlu membaca lagi, sehingga perdebatanpun terjadi dalam bidang ini.
Dalam al-fatihahpun masih ada perdebatan lagi, yaitu mengenai masalah membaca basmalah. Perdebatannya disini berkenaan dengan apakah basmalah itu masuk pada al-fatihah atau tidak. Mengenai hal ini para ulama’ fiqih berbeda pendapat. Sehingga umat diharapkan memilih sesuai dengan keyakinan masing-masing, mau ikut mazhab yang mana.
Semua permasalahan diatas perlu kita bahas pada kesempatan kali ini, karena bagaimanapun juga hal itu menjadi kewajiban kita sehari-hari. Selaku umat islam kita dituntut untuk mengetahui masalah ini supaya tidak timbul kecemburuan sosial atau konflik ketika terjadi perbedaan dalam hal beribadah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hukum melafadzkan niat dalam sholat?
2.      Bagaimana membaca al-fatihah bagi makmum jahriyah?
3.      Bagaimana pendapat para ulama’ terkait dengan basmalah yang masuk pada surat al-fatihah?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Kita bisa mengetahui hukum melafadzkan niat dalam sholat.
2.      Kita dapat memahami membaca al-fatihah bagi makmum jahriyah.
3.      Dapat memahami pendapat para ulama’ terkait dengan basmalah yang masuk pada surat al-fatihah.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hukum Melafazdkan Niat Dalam Sholat
Sebenarnya tentang melafalkan atau mengucapkan niat, misalnya membaca “Ushalli fardla dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala” (Saya berniat melakukan shalat fardlu dzuhur empat rakaat dengan menghadap kiblat dan tepat pada waktunya semata-mata karena Allah SWT) pada menjelang takbiratul ihram dalam shalat dzuhur adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di kalangan warga NU (nahdliyin). Tetapi sepertinya menjadi asing dan sesuatu yang disoal oleh sebagian kalangan yang tidak sepemahaman dengan warga nahdliyin.
Adapun hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.
Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.
Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-was.
Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”.(HR. Muslim).
Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.
Memang tempatnya niat ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat hal, yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan tidak ada sesuatu yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di masjid. Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar.
Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum melafalkan niat adalah sunnah. Imam Ramli mengatakan:
“Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dank arena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437)
Jadi, fungsi melafalkan niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena melafalkan niat sebelum shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Adapun memfitnah, bertentangan dan perpecahan antar umat Islam karena masalah hukum sunnah adalah menyalahi syari’at Allah SWT.
B.     Membaca Al-Fatihah Bagi Makmum Jahriyah
Dalam hal ini Al-Imam Makhul rahimahullah berkata, “Bacalah al-Fatihah di setiap rakaat dengan sirr apabila imam sedang diam/tidak membaca. Namun, apabila imam tidak diam, al-Fatihah dibaca sebelum imam membacanya, atau bersamaan dengan bacaan imam, atau setelah imam membaca. Jangan engkau tinggalkan bacaan al-Fatihah ini sama sekali.” (Muhadzdzab fi Ikhtishar as-Sunan al-Kubra, 2/614)
Sedangkan Al-Imam Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Ulama berbeda pendapat tentang wajibnya membaca al-Fatihah bagi makmum. Yang rajih, makmum  wajib membacanya berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.” (Muttafaqun alaihi). Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Tampaknya di antara kalian ada yang membaca di belakang imam kalian? ”Mereka menjawab, “Ya, kami melakukannya, wahai Rasulullah.” Beliau pun bersabda, “Jangan kalian lakukan hal itu selain pada Fatihatul Kitab, karena tidak ada shalat bagi orang yang tidak membacanya.” (HR. Abu Dawud dan selainnya dengan sanad yang hasan)
Jika imam tidak diam dalam shalat jahriyah maka makmum membaca al-Fatihah ini walaupun dalam keadaan imam sedang membaca Al-Qur’an. Setelahnya, dia diam agar bisa mengamalkan dua hadits yang disebutkan di atas. Apabila makmum lupa atau tidak tahu tentang wajibnya membaca al-Fatihah, gugur darinya kewajiban tersebut, seperti orang yang masuk dalam jamaah dalam keadaan imam sedang ruku’, ia ruku’ bersama imam dan ia mendapat satu rakaat bersama imam, menurut pendapat yang paling shahih dari dua pendapat ulama. Ini adalah pendapat mayoritas ahlul ilmi berdasarkan hadits Abu Bakrah ats-Tsaqafi radhiyallahu ‘anhu. Disebutkan bahwa beliau radhiyallahu ‘anhu mendatangi masjid dalam keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang ruku’. Ia pun ruku’ sebelum masuk ke dalam shaf, kemudian berjalan dalam keadaan ruku’ untuk bergabung dalam shaf. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda kepadanya setelah mengucapkan salam dari shalat beliau:
“Semoga Allah menambah semangatmu untuk berbuat kebaikan, namun jangan kamu ulangi perbuatanmu.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyuruh Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu mengganti rakaat tersebut. Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari dalam Shahih-nya.
Adapun hadits, “Bacaan imam adalah bacaan bagi orang yang dibelakangnya.”
Adalah hadits dhaif yang tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya. Hal ini telah diperingatkan oleh ulama hadits. Seandainya hadits ini shahih, dia ditempatkan sebagai hadits umum yang dikhususkan dengan perintah membaca al-Fatihah (yakni selain al-Fatihah maka bacaan imam adalah bacaan makmum). Wabillahi at-taufiq.” (Majmu’ Fatawa libni Baz, 11/226-227) berbeda jika ditanyakan kepada al-Imam Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah tentang makmum yang mendapati imam hampir ruku’, apakah ia membaca al-Fatihah atau membaca doa istiftah? Apabila imam telah ruku’ sementara ia belum selesai membaca al-Fatihah, apa yang harus dilakukannya? Samahatusy Syaikh menjawab, “Membaca istiftah adalah sunnah, sedangkan membaca al-Fatihah hukumnya wajib bagi makmum, menurut pendapat yang benar. Apabila engkau khawatir luput dari membaca al-Fatihah, mulailah dengan membaca al-Fatihah. Ketika imam ruku’ sebelum engkau menyempurnakan bacaan al-Fatihah, ruku’lah bersama imam dan gugur darimu kewajiban membaca al-Fatihah yang tersisa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Hanyalah imam itu dijadikan untuk diikuti. Oleh karena itu, janganlah kalian berbeda/ketinggalan darinya. Apabila ia bertakbir, ikutlah bertakbir. Apabila ia ruku’, ruku’lah kalian.” Hadits ini muttafaqun alaihi.” (Majmu’ Fatawa libni Baz, 11/243-244)
Yang sunnah bagi makmum adalah membaca (al-Fatihah, ed) dengan samar (cukup ia dengar untuk dirinya sendiri/tidak memperdengarkannya kepada orang lain. Demikian pula ketika membaca zikir-zikir dan doa-doa di dalam shalat. Tidak ada dalil yang membolehkan membaca dengan suara keras/jahr. Selain itu, apabila ia menjahrkan bacaannya niscaya akan mengganggu orang-orang yang sedang shalat di sekitarnya. (Majmu’ Fatawa libni Baz, 11/238) [6]
C.    Masuknya basmalah dalam al-fatihah
Al- Imam Sufyan Ats Tsauriy -rohimahulloh- memasukkan masalah keras pelannya bacaan bismillah di dalam sholat jahriyyah (sholat yang bacaan Qur’annya dikeraskan seperti: sholat Subh, Maghrib, ‘Isya, Jum’ah, ‘Idain, gerhana dan semisalnya), dalam rangka membantah Rofidhoh yang menjadikan kerasnya bismillah sebagai syi’ar mereka (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahulloh), berkata: “Banyak sekali kedustaan dalam hadits-hadits yang menyebutkan dikeraskannya bacaan Basmalah, karena Syi’ah menganggap disyariatkkannya bacaan Basmalah secara keras, dan memang mereka itu adalah kelompok yang paling pendusta. Mereka membikin-bikin hadits-hadits untuk mendukung pendapat mereka dan membikin kerancuan agama terhadap masyarakat. Oleh karena itulah didapati pada ucapan sebagian imam Ahlussunnah dari penduduk Kufah seperti Sufyan Ats Tsauriy yang menyebutkan pokok-pokok As Sunnah di antaranya adalah: mengusap khuf (sepatu yang menutupi mata kaki) saat berwudhu dan meninggalkan dikeraskannya bacaan basmalah, sebagaimana mereka juga menyebutkan mendahulukan Abu Bakar sebelum Umar, dan semisal itu, dikarenakan permasalahan ini termasuk dari syi’ar Rofidhoh. Karena itulah Abu Ali bin Abi Huroiroh – salah satu imam dari pengikut Asy Syafi’iy berpendapat untuk meninggalkan dikeraskannya bacaan basmalah, dan beliau berkata: dikeraskannya bacaan basmalah telah menjadi syiar para penyelisih sunnah.” (“Majmu’ul Fatawa”/22/hal. 423).
Pondasi bab ini adalah hadits Anas rodhiyallohu ‘anhu, “Bahwasanya Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- dan Abu Bakr serta Umar rodhiyallohu ‘anhuma- selalu memulai sholat dengan Alhamdulillahirobbil ‘alamin.” (HR. Al Bukhoriy/Kitabul Adzan/Bab Ma Yaqulu Ba’dat Takbir/743/Daru Ibnu Hazm).
Dari Abdah dari Qotadah bahwasanya dia menulis surat kepadanya, mengabarinya dari Anas bin Malik bahwasanya beliau mengabarkan:
“Aku sholat di belakang Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam-, Abu Bakr, Umar, dan Utsman, mereka selalu membuka sholatnya dengan Alhamdulillahirobbil ‘alamin. Mereka tidak menyebutkan bismillahirrohmanirrohim di awal bacaan atau di akhirnya.” (HR. Muslim) (Kitabush Sholah/Bab Man qola la yajhar bil basmalah/399/Dar Ibnil Jauziy).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahulloh- berkata: “Adapun sifat sholat dan termasuk dari syiarnya adalah masalah basmalah, maka sungguh orang-orang telah mengalami kegoncangan dalam masalah ini, ada yang menetapkan dan ada yang meniadakan, apakah dia itu ayat dari Al Qur’an, dan bagaimana bacaannya. Kedua kelompok tersebut telah menulis kitab-kitab, yang nampak dari sebagian perkataannya tadi ada sedikit kebodohan dan kezholiman, padahal permasalahannya itu ringan. Adapun pembentukan kelompok hanya karena masalah-masalah seperti ini merupakan syiar-syiar perpecahan dan perselisihan yang kita dilarang darinya, karena yang menarik mereka untuk berbuat semacam itu adalah kembalinya syiar-syiar yang memecah-belah umat. Jika tidak demikian, maka masalah-masalah ini adalah termasuk masalah khilaf yang paling ringan sekali, andaikata setan tidak mengajak kepada ditampakkannya syiar perpecahan.
Adapun masalah basmalah itu sebagai satu ayat dari Al Qur’an, maka satu kelompok –seperti Malik- berkata: “Basmalah itu bukan bagian dari Al Qur’an kecuali dalam surat An Naml.” Mereka memegang konsekuensi dari keyakinan itu bahwasanya para Shohabat meletakkan ke dalam mushaf kalimat yang bukan bagian dari kalamulloh dalam rangka mencari berkah.
Ada satu kelompok dari pengikut Ahmad yang menyatakan bahwasanya ini juga satu riwayat dari beliau –Al Imam Ahmad-. Terkadang sebagian orang dari mereka meyakini bahwasanya ini merupakan madzhab beliau.
Ada kelompok lain –di antaranya Asy Syafi’iy- yang berkata: “Tidaklah para Shohabat menulisnya di dalam Mushaf dengan pena Mushaf bersamaan dengan pembersihan Mushaf dari apa-apa yang bukan dari Al Qur’an kecuali dia itu adalah bagian dari surat, bersamaan dengan dalil-dalil yang lain.
Kebanyakan fuqoha ahli hadits –seperti Ahmad, dan para peneliti dari pengikut Abu Hanifah- mengambil jalan tengah dan berkata: “Penulisan basmalah di dalam Mushaf mengharuskan bahwasanya dia itu bagian dari Al Qur’an karena kita semua telah tahu bahwasanya para Shohabat itu tidak menulis di dalam Mushaf apa-apa yang bukan Al Qur’an. Akan tetapi hal itu tidak mengharuskan basmalah tadi bagian dari surat. Bahkan dia itu merupakan ayat tersendiri yang diturunkan di awal setiap surat, sebagaimana ditulis oleh para Shohabat dalam satu baris yang terpisah, sebagaimana ucapan Ibnu ‘Abbas:
“Dulunya Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- tidak mengetahui pemisah antara satu surat dengan surat yang lain sampai turun Bismillahirrohmanirrohim.”(Maka menurut mereka tadi Basmalah adalah ayat dari Kitabulloh di awal setiap surat yang tertulis di Mushaf, tapi bukan bagian dari surat-surat tadi. Inilah nash (yang jelas dan pasti) dari Ahmad di beberapa sumber. Dan tidak didapatkan dari beliau penukilan yang jelas yang menyelisihi hal ini. Ini juga pendapat Abdulloh Ibnul Mubarok dan yang lainnya, dan ini merupakan pendapat yang paling tengah dan adil.
Demikian pula perkaranya dalam masalah bacaan Basmalah di dalam sholat. Satu kelompok –seperti Malik dan Al Auza’iy- tidak membacanya baik secara pelan-pelan ataupun keras.
kelompok seperti pengikut Ibnu Juroij dan Asy Syafi’iy membacanya dengan keras.
Dan kelompok ketiga yang pertengahan adalah mayoritas dari para fuqoha ahlil hadits bersama dengan fuqoha ahlur ro’yi, mereka membaca Basmalah dengan perlahan, sebagaimana dinukilkan dari mayoritas Shohabat. Bersamaan dengan itu Ahmad melaksanakan apa yang diriwayatkan dari Shohabat dalam bab ini, yaitu disunnahkan untuk mengeraskan Basmalah demi maslahat yang lebih berat, sampai-sampai beliau menegaskan bahwasanya barangsiapa sholat di Madinah hendaknya dia mengeraskan Basmalah. Sebagian sahabatnya berkata: “Karena mereka mengingkari orang yang membacanya dengan keras.”(Dan disunnahkan bagi seseorang yang ingin melunakkan hati masyarakat untuk meninggalkan perkara-perkara mustahabbah (yang dianjurkan dan tidak sampai wajib) ini karena maslahat pelunakan hati di dalam agama ini lebih besar daripada maslahat pelaksanaan perkara seperti itu tadi, sebagaimana Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- meninggalkan perubahan bangunan Ka’bah, karena jika Ka’bah dibiarkan tetap seperti itu hati-hati orang Quroisy dan yang lainnya bisa dilunakkan(Dan sebagaimana Ibnu Mas’ud mengingkari Utsman karena sholat di perjalanan secara sempurna (tidak meng-qoshor), lalu dia sendiri sholat di belakang Utsman secara sempurna dan berkata: “Perselisihan itu jelek” (Ini sungguh merupakan pendapat yang bagus, akan tetapi maksud Ahmad adalah bahwasanya penduduk Madinah itu dulu tidak membaca Basmalah, maka beliau membacanya dengan keras untuk menjelaskan pada mereka bahwasanya membacanya itu sunnah, sebagaimana Ibnu ‘Abbas membaca Ummul Kitab (Al Fatihah) dengan keras saat sholat jenazah, dan beliau berkata: “Agar kalian tahu bahwasanya hal ini adalah sunnah(Oleh karena itulah dinukilkan dari kebanyakan Shohabat yang meriwayatkan bacaan keras dari beliau -shollallohu ‘alaihi wasallam, mereka sendiri membacanya dengan pelan, seakan-akan mereka mengeraskan bacaan adalah untuk menunjukkan, sebagaimana sebagian dari mereka membaca isti’adzah (A’udzubillahi minasy syaithonir rojim) dengan keras juga. dari Syaikhul Islam di “Majmu’ul Fatawa” (22/hal. 410- 414).


KESIMPULAN
Adapun hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya
sunnah bagi makmum adalah membaca (al-Fatihah, ed) dengan samar (cukup ia dengar untuk dirinya sendiri/tidak memperdengarkannya kepada orang lain. Demikian pula ketika membaca zikir-zikir dan doa-doa di dalam shalat. Tidak ada dalil yang membolehkan membaca dengan suara keras/jahr. Selain itu, apabila ia menjahrkan bacaannya niscaya akan mengganggu orang-orang yang sedang shalat di sekitarnya.
Terkait dengan bacaan basmalah, ada pendapat yang mengatakan tidak usah baca basmalah,  ada yang berpendapat harus membaca basmalah bahkan ada juga yang menjelaskan membaca basmalah dengan perlahan. Sebagian besar ulama’ mengatakan bahwa membaca basmalah dengan perlahan.



DAFTAR PUSTAKA
Ikhtishar Muhadzdzab “As-Sunan Al-Kubra” (Qhoiron, jakarta 2001)
Hazm Ibnu “Kitabul Adzan” (Al-ilm, jakarta, 1989)
Jauziy Ibnil, “Kitabush Sholah” (jariyah, kediri, 1978)
Abdul Aziz, Syaikh, “Menjawab Tuntas Masalah Sholat Mulai A-Z “ (Al-Mahra Jakarta 2007)
A,K arif, “Kitab Ul-Azan” (Jabari, Jakarta, 1977)
3 komentar
  1. http://abuhauramuafa.wordpress.com/2012/12/03/hukum-melafazkan-niat/

    Subhanallah..subhanallah..subhanallah..
    Inilah tulisan mendalam Ust. Muhammad Mu'afa yang kami tunggu2 ^_^ tentang HUKUM MELAFADZKAN NIAT...insyaAllah mencerahkan..

    Di dalamnya dijelaskan 11 argumentasi terpenting yang menunjukkan MUBAHNYA pelafalan niat...12 tanggapan beliau thd. sebagian kaum muslimin yang berpendapat bahwa melafalkan niat dalam ibadah adalah haram, bahkan bid’ah...tanggapan thd. pendapat yang mensunnahkan dan mewajibkan...DAFTAR NAMA PARA ULAMA YANG TIDAK MELARANG PELAFALAN NIAT..dan terakhir adalah pesan beliau ttg. penyikapan dalam adab/tata krama terhadap ikhtilaf ulama...

  1. Merkur 34c Review - Titanium Art
    This Merkur 34c titanium mokume gane is another Merkur heavy duty titanium watch band quality adjustable safety razor. The Merkur 34C is an excellent choice when it comes to price.Pros and cons include: Very comfortable handle ⋅ Excellent handle ⋅ titanium nipple jewelry Is it adjustable or a titanium mens rings Rating: 5 · ‎Review by Tito Miller ford edge titanium 2019

Posting Komentar

Flag Counter

free counters
Link Top Tutorial Blog Ping your blog, website, or RSS feed for Free

Kotak Berlangganan

Enter your email address:

Followers

About Me

Foto saya
saya berasal dari orang yang menengah kebawah, tapi dengan keinginan kuat saya, tak menjadi penyebab bagi saya untuk tidak meneruskan kuliah, tekad yang bulat, dan keinginan yang menggebu-gebu mendorong saya untuk melang-lang buana atau merantau ke daerah yang jauh dari tanah kelahiran saya.