hukum melafadzkan niat, membaca al-fatihah bagi makmum jahriyah, bacaan basmalah
Posted by Rafa Aoleng,
Minggu, 03 Juni 2012
,
in
MAKALAH
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan fiqih memang sangat
kompleks jika kita tidak mengerti, tapi apabila kita mengerti sangat mudah
sekali dalam menjalankan fiqih, khususnya dalam hal ibadah.
Diantara permasalahan yang masih menjadi
pertentangan sampai saat ini ialah perdebatan tentang melafazdkan niat dalam
sholat, empat madzab dalam hal ini berbeda dalam menyikapinya.
Permasalahan yang lain ialah tentang
membaca al-fatihah bagi makmum jahriyah. Dalam hal ini ada yang bilang masih
harus membaca, ada juga yang bilang tidak perlu membaca lagi, sehingga
perdebatanpun terjadi dalam bidang ini.
Dalam al-fatihahpun masih ada perdebatan
lagi, yaitu mengenai masalah membaca basmalah. Perdebatannya disini berkenaan
dengan apakah basmalah itu masuk pada al-fatihah atau tidak. Mengenai hal ini
para ulama’ fiqih berbeda pendapat. Sehingga umat diharapkan memilih sesuai
dengan keyakinan masing-masing, mau ikut mazhab yang mana.
Semua permasalahan diatas perlu kita
bahas pada kesempatan kali ini, karena bagaimanapun juga hal itu menjadi
kewajiban kita sehari-hari. Selaku umat islam kita dituntut untuk mengetahui
masalah ini supaya tidak timbul kecemburuan sosial atau konflik ketika terjadi
perbedaan dalam hal beribadah.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana hukum melafadzkan niat dalam
sholat?
2.
Bagaimana membaca al-fatihah bagi makmum
jahriyah?
3.
Bagaimana pendapat para ulama’ terkait
dengan basmalah yang masuk pada surat
al-fatihah?
C. Tujuan Pembahasan
1.
Kita bisa mengetahui hukum melafadzkan
niat dalam sholat.
2.
Kita dapat memahami membaca al-fatihah
bagi makmum jahriyah.
3.
Dapat memahami pendapat para ulama’
terkait dengan basmalah yang masuk pada surat
al-fatihah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Melafazdkan Niat Dalam Sholat
Sebenarnya tentang melafalkan atau
mengucapkan niat, misalnya membaca “Ushalli
fardla dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala”
(Saya berniat melakukan shalat fardlu dzuhur empat rakaat dengan menghadap
kiblat dan tepat pada waktunya semata-mata karena Allah SWT) pada menjelang
takbiratul ihram dalam shalat dzuhur adalah sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan di kalangan warga NU (nahdliyin). Tetapi sepertinya menjadi asing dan
sesuatu yang disoal oleh sebagian kalangan yang tidak sepemahaman dengan warga
nahdliyin.
Adapun hukum melafalkan niat shalat pada
saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam
Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah)
adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk
mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan
shalatnya.
Jika seseorang salah dalam melafalkan
niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat
‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya bukan
lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah
niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat
dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.
Menurut pengikut mazhab Imam Malik
(Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) bahwa melafalkan niat
shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang yang
terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan
Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan
(khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum
melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah
bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik
(istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-was.
Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam
suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan
ibadah haji.
“Dari
Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku
sengaja mengerjakan umrah dan haji”.(HR. Muslim).
Memang ketika Nabi Muhammad SAW
melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau
ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau
dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.
Memang tempatnya niat ada di hati,
tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat hal, yaitu Islam,
berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan tidak ada sesuatu
yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan)
menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat
diwajibkan dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan
kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan
orang yang beristirah di masjid. Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah
dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat
‘Ashar.
Karena melafalkan niat sebelum shalat
tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah dilakukan Nabi
Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum melafalkan niat adalah sunnah. Imam
Ramli mengatakan:
“Disunnahkan
melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu
(kekhusyu’-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dank arena menghindar
dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat”.
(Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437)
Jadi, fungsi melafalkan niat adalah
untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan shalat sehingga
dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena melafalkan niat sebelum shalat
hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak
berdosa. Adapun memfitnah, bertentangan dan perpecahan antar umat Islam karena
masalah hukum sunnah adalah menyalahi syari’at Allah SWT.
B.
Membaca
Al-Fatihah Bagi Makmum Jahriyah
Dalam hal ini
Al-Imam Makhul rahimahullah berkata, “Bacalah
al-Fatihah di setiap rakaat dengan sirr apabila imam sedang diam/tidak membaca.
Namun, apabila imam tidak diam, al-Fatihah dibaca sebelum imam membacanya, atau
bersamaan dengan bacaan imam, atau setelah imam membaca. Jangan engkau
tinggalkan bacaan al-Fatihah ini sama sekali.” (Muhadzdzab fi Ikhtishar
as-Sunan al-Kubra, 2/614)
Sedangkan Al-Imam
Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Ulama berbeda pendapat tentang wajibnya membaca al-Fatihah bagi
makmum. Yang rajih, makmum wajib
membacanya berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:“Tidak
ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.” (Muttafaqun
alaihi). Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Tampaknya di
antara kalian ada yang membaca di belakang imam kalian? ”Mereka menjawab, “Ya,
kami melakukannya, wahai Rasulullah.” Beliau pun bersabda, “Jangan kalian lakukan
hal itu selain pada Fatihatul Kitab, karena tidak ada shalat bagi orang yang
tidak membacanya.” (HR. Abu Dawud dan selainnya dengan sanad yang hasan)
Jika imam tidak diam dalam shalat jahriyah maka makmum
membaca al-Fatihah ini walaupun dalam keadaan imam sedang membaca Al-Qur’an.
Setelahnya, dia diam agar bisa mengamalkan dua hadits yang disebutkan di atas.
Apabila makmum lupa atau tidak tahu tentang wajibnya membaca al-Fatihah, gugur
darinya kewajiban tersebut, seperti orang yang masuk dalam jamaah dalam keadaan
imam sedang ruku’, ia ruku’ bersama imam dan ia mendapat satu rakaat bersama
imam, menurut pendapat yang paling shahih dari dua pendapat ulama. Ini adalah
pendapat mayoritas ahlul ilmi berdasarkan hadits Abu Bakrah ats-Tsaqafi
radhiyallahu ‘anhu. Disebutkan bahwa beliau radhiyallahu ‘anhu mendatangi
masjid dalam keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang ruku’. Ia pun
ruku’ sebelum masuk ke dalam shaf, kemudian berjalan dalam keadaan ruku’ untuk
bergabung dalam shaf. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda kepadanya
setelah mengucapkan salam dari shalat beliau:
“Semoga Allah menambah semangatmu untuk berbuat
kebaikan, namun jangan kamu ulangi perbuatanmu.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyuruh Abu
Bakrah radhiyallahu ‘anhu mengganti rakaat tersebut. Hadits ini diriwayatkan
al-Bukhari dalam Shahih-nya.
Adapun hadits, “Bacaan
imam adalah bacaan bagi orang yang dibelakangnya.”
Adalah hadits dhaif yang tidak bisa ditegakkan hujjah
dengannya. Hal ini telah diperingatkan oleh ulama hadits. Seandainya hadits ini
shahih, dia ditempatkan sebagai hadits umum yang dikhususkan dengan perintah
membaca al-Fatihah (yakni selain al-Fatihah maka bacaan imam adalah bacaan
makmum). Wabillahi at-taufiq.” (Majmu’ Fatawa libni Baz, 11/226-227) berbeda
jika ditanyakan kepada al-Imam Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah tentang
makmum yang mendapati imam hampir ruku’, apakah ia membaca al-Fatihah atau
membaca doa istiftah? Apabila imam telah ruku’ sementara ia belum selesai
membaca al-Fatihah, apa yang harus dilakukannya? Samahatusy Syaikh menjawab,
“Membaca istiftah adalah sunnah, sedangkan membaca al-Fatihah hukumnya wajib
bagi makmum, menurut pendapat yang benar. Apabila engkau khawatir luput dari
membaca al-Fatihah, mulailah dengan membaca al-Fatihah. Ketika imam ruku’
sebelum engkau menyempurnakan bacaan al-Fatihah, ruku’lah bersama imam dan
gugur darimu kewajiban membaca al-Fatihah yang tersisa. Hal ini berdasarkan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Hanyalah
imam itu dijadikan untuk diikuti. Oleh karena itu, janganlah kalian
berbeda/ketinggalan darinya. Apabila ia bertakbir, ikutlah bertakbir. Apabila
ia ruku’, ruku’lah kalian.” Hadits ini muttafaqun alaihi.” (Majmu’ Fatawa libni Baz, 11/243-244)
Yang sunnah bagi makmum adalah membaca (al-Fatihah,
ed) dengan samar (cukup ia dengar untuk dirinya sendiri/tidak
memperdengarkannya kepada orang lain. Demikian pula ketika membaca zikir-zikir
dan doa-doa di dalam shalat. Tidak ada dalil yang membolehkan membaca dengan
suara keras/jahr. Selain itu, apabila ia menjahrkan bacaannya niscaya akan
mengganggu orang-orang yang sedang shalat di sekitarnya. (Majmu’ Fatawa libni
Baz, 11/238) [6]
C. Masuknya basmalah dalam al-fatihah
Al- Imam Sufyan
Ats Tsauriy -rohimahulloh- memasukkan masalah keras pelannya bacaan bismillah
di dalam sholat jahriyyah (sholat yang bacaan Qur’annya dikeraskan seperti:
sholat Subh, Maghrib, ‘Isya, Jum’ah, ‘Idain, gerhana dan semisalnya), dalam
rangka membantah Rofidhoh yang menjadikan kerasnya bismillah sebagai syi’ar
mereka (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rohimahulloh), berkata: “Banyak sekali
kedustaan dalam hadits-hadits yang menyebutkan dikeraskannya bacaan Basmalah,
karena Syi’ah menganggap disyariatkkannya bacaan Basmalah secara keras, dan
memang mereka itu adalah kelompok yang paling pendusta. Mereka membikin-bikin
hadits-hadits untuk mendukung pendapat mereka dan membikin kerancuan agama
terhadap masyarakat. Oleh karena itulah didapati pada ucapan sebagian imam
Ahlussunnah dari penduduk Kufah seperti Sufyan Ats Tsauriy yang menyebutkan
pokok-pokok As Sunnah di antaranya adalah: mengusap khuf (sepatu yang menutupi
mata kaki) saat berwudhu dan meninggalkan dikeraskannya bacaan basmalah,
sebagaimana mereka juga menyebutkan mendahulukan Abu Bakar sebelum Umar, dan
semisal itu, dikarenakan permasalahan ini termasuk dari syi’ar Rofidhoh. Karena
itulah Abu Ali bin Abi Huroiroh – salah satu imam dari pengikut Asy Syafi’iy
berpendapat untuk meninggalkan dikeraskannya bacaan basmalah, dan beliau
berkata: dikeraskannya bacaan basmalah telah menjadi syiar para penyelisih
sunnah.” (“Majmu’ul Fatawa”/22/hal. 423).
Pondasi bab ini
adalah hadits Anas rodhiyallohu ‘anhu, “Bahwasanya
Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- dan Abu Bakr serta Umar rodhiyallohu
‘anhuma- selalu memulai sholat dengan Alhamdulillahirobbil ‘alamin.” (HR.
Al Bukhoriy/Kitabul Adzan/Bab Ma Yaqulu Ba’dat Takbir/743/Daru Ibnu Hazm).
Dari Abdah dari
Qotadah bahwasanya dia menulis surat
kepadanya, mengabarinya dari Anas bin Malik bahwasanya beliau mengabarkan:
“Aku sholat di belakang Nabi -shollallohu ‘alaihi
wasallam-, Abu Bakr, Umar, dan Utsman, mereka selalu membuka sholatnya dengan
Alhamdulillahirobbil ‘alamin. Mereka tidak menyebutkan bismillahirrohmanirrohim
di awal bacaan atau di akhirnya.” (HR. Muslim) (Kitabush Sholah/Bab Man qola la yajhar bil basmalah/399/Dar
Ibnil Jauziy).
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah -rohimahulloh- berkata: “Adapun sifat sholat dan termasuk dari
syiarnya adalah masalah basmalah, maka sungguh orang-orang telah mengalami
kegoncangan dalam masalah ini, ada yang menetapkan dan ada yang meniadakan,
apakah dia itu ayat dari Al Qur’an, dan bagaimana bacaannya. Kedua kelompok
tersebut telah menulis kitab-kitab, yang nampak dari sebagian perkataannya tadi
ada sedikit kebodohan dan kezholiman, padahal permasalahannya itu ringan.
Adapun pembentukan kelompok hanya karena masalah-masalah seperti ini merupakan
syiar-syiar perpecahan dan perselisihan yang kita dilarang darinya, karena yang
menarik mereka untuk berbuat semacam itu adalah kembalinya syiar-syiar yang
memecah-belah umat. Jika tidak demikian, maka masalah-masalah ini adalah
termasuk masalah khilaf yang paling ringan sekali, andaikata setan tidak
mengajak kepada ditampakkannya syiar perpecahan.
Adapun masalah
basmalah itu sebagai satu ayat dari Al Qur’an, maka satu kelompok –seperti
Malik- berkata: “Basmalah itu bukan bagian dari Al Qur’an kecuali dalam surat An Naml.” Mereka
memegang konsekuensi dari keyakinan itu bahwasanya para Shohabat meletakkan ke
dalam mushaf kalimat yang bukan bagian dari kalamulloh dalam rangka mencari
berkah.
Ada satu kelompok dari pengikut Ahmad yang menyatakan
bahwasanya ini juga satu riwayat dari beliau –Al Imam Ahmad-. Terkadang
sebagian orang dari mereka meyakini bahwasanya ini merupakan madzhab beliau.
Ada kelompok lain
–di antaranya Asy Syafi’iy- yang berkata: “Tidaklah para Shohabat menulisnya di
dalam Mushaf dengan pena Mushaf bersamaan dengan pembersihan Mushaf dari
apa-apa yang bukan dari Al Qur’an kecuali dia itu adalah bagian dari surat, bersamaan dengan
dalil-dalil yang lain.
Kebanyakan
fuqoha ahli hadits –seperti Ahmad, dan para peneliti dari pengikut Abu Hanifah-
mengambil jalan tengah dan berkata: “Penulisan basmalah di dalam Mushaf
mengharuskan bahwasanya dia itu bagian dari Al Qur’an karena kita semua telah
tahu bahwasanya para Shohabat itu tidak menulis di dalam Mushaf apa-apa yang
bukan Al Qur’an. Akan tetapi hal itu tidak mengharuskan basmalah tadi bagian
dari surat.
Bahkan dia itu merupakan ayat tersendiri yang diturunkan di awal setiap surat, sebagaimana ditulis
oleh para Shohabat dalam satu baris yang terpisah, sebagaimana ucapan Ibnu
‘Abbas:
“Dulunya
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- tidak mengetahui pemisah antara satu surat dengan surat
yang lain sampai turun Bismillahirrohmanirrohim.”(Maka menurut mereka tadi
Basmalah adalah ayat dari Kitabulloh di awal setiap surat yang tertulis di Mushaf, tapi bukan
bagian dari surat-surat tadi. Inilah nash (yang jelas dan pasti) dari Ahmad di
beberapa sumber. Dan tidak didapatkan dari beliau penukilan yang jelas yang
menyelisihi hal ini. Ini juga pendapat Abdulloh Ibnul Mubarok dan yang lainnya,
dan ini merupakan pendapat yang paling tengah dan adil.
Demikian pula
perkaranya dalam masalah bacaan Basmalah di dalam sholat. Satu kelompok
–seperti Malik dan Al Auza’iy- tidak membacanya baik secara pelan-pelan ataupun
keras.
kelompok seperti
pengikut Ibnu Juroij dan Asy Syafi’iy membacanya dengan keras.
Dan kelompok
ketiga yang pertengahan adalah mayoritas dari para fuqoha ahlil hadits bersama
dengan fuqoha ahlur ro’yi, mereka membaca Basmalah dengan perlahan, sebagaimana
dinukilkan dari mayoritas Shohabat. Bersamaan dengan itu Ahmad melaksanakan apa
yang diriwayatkan dari Shohabat dalam bab ini, yaitu disunnahkan untuk
mengeraskan Basmalah demi maslahat yang lebih berat, sampai-sampai beliau
menegaskan bahwasanya barangsiapa sholat di Madinah hendaknya dia mengeraskan
Basmalah. Sebagian sahabatnya berkata: “Karena mereka mengingkari orang yang
membacanya dengan keras.”(Dan disunnahkan bagi seseorang yang ingin melunakkan
hati masyarakat untuk meninggalkan perkara-perkara mustahabbah (yang dianjurkan
dan tidak sampai wajib) ini karena maslahat pelunakan hati di dalam agama ini
lebih besar daripada maslahat pelaksanaan perkara seperti itu tadi, sebagaimana
Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- meninggalkan perubahan bangunan Ka’bah,
karena jika Ka’bah dibiarkan tetap seperti itu hati-hati orang Quroisy dan yang
lainnya bisa dilunakkan(Dan sebagaimana Ibnu Mas’ud mengingkari Utsman karena
sholat di perjalanan secara sempurna (tidak meng-qoshor), lalu dia sendiri
sholat di belakang Utsman secara sempurna dan berkata: “Perselisihan itu jelek”
(Ini sungguh merupakan pendapat yang bagus, akan tetapi maksud Ahmad adalah
bahwasanya penduduk Madinah itu dulu tidak membaca Basmalah, maka beliau
membacanya dengan keras untuk menjelaskan pada mereka bahwasanya membacanya itu
sunnah, sebagaimana Ibnu ‘Abbas membaca Ummul Kitab (Al Fatihah) dengan keras
saat sholat jenazah, dan beliau berkata: “Agar kalian tahu bahwasanya hal ini
adalah sunnah(Oleh karena itulah dinukilkan dari kebanyakan Shohabat yang
meriwayatkan bacaan keras dari beliau -shollallohu ‘alaihi wasallam, mereka
sendiri membacanya dengan pelan, seakan-akan mereka mengeraskan bacaan adalah
untuk menunjukkan, sebagaimana sebagian dari mereka membaca isti’adzah
(A’udzubillahi minasy syaithonir rojim) dengan keras juga. dari Syaikhul Islam di “Majmu’ul Fatawa” (22/hal. 410- 414).
KESIMPULAN
Adapun hukum melafalkan niat shalat pada
saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam
Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah)
adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk
mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan
shalatnya
sunnah bagi makmum adalah membaca (al-Fatihah, ed) dengan samar (cukup ia
dengar untuk dirinya sendiri/tidak memperdengarkannya kepada orang lain.
Demikian pula ketika membaca zikir-zikir dan doa-doa di dalam shalat. Tidak ada
dalil yang membolehkan membaca dengan suara keras/jahr. Selain itu, apabila ia
menjahrkan bacaannya niscaya akan mengganggu orang-orang yang sedang shalat di
sekitarnya.
Terkait dengan bacaan basmalah, ada pendapat yang mengatakan tidak usah
baca basmalah, ada yang berpendapat
harus membaca basmalah bahkan ada juga yang menjelaskan membaca basmalah dengan
perlahan. Sebagian besar ulama’ mengatakan bahwa membaca basmalah dengan
perlahan.
DAFTAR PUSTAKA
Ikhtishar Muhadzdzab
“As-Sunan Al-Kubra” (Qhoiron, jakarta
2001)
Hazm Ibnu “Kitabul Adzan” (Al-ilm, jakarta, 1989)
Jauziy Ibnil, “Kitabush Sholah” (jariyah, kediri, 1978)
Abdul Aziz, Syaikh, “Menjawab Tuntas Masalah Sholat
Mulai A-Z “ (Al-Mahra Jakarta 2007)
A,K arif, “Kitab Ul-Azan” (Jabari, Jakarta, 1977)
-
Merkur 34c Review - Titanium Art
This Merkur 34c titanium mokume gane is another Merkur heavy duty titanium watch band quality adjustable safety razor. The Merkur 34C is an excellent choice when it comes to price.Pros and cons include: Very comfortable handle ⋅ Excellent handle ⋅ titanium nipple jewelry Is it adjustable or a titanium mens rings Rating: 5 · Review by Tito Miller ford edge titanium 2019
-
n791s9dccsu800 Male Masturbators,dildo,sex toys,realistic dildo,dildo,male sex toys,pink dildoe,finger vibrator,realistic dildo y740g7xiwsu021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
http://abuhauramuafa.wordpress.com/2012/12/03/hukum-melafazkan-niat/
Subhanallah..subhanallah..subhanallah..
Inilah tulisan mendalam Ust. Muhammad Mu'afa yang kami tunggu2 ^_^ tentang HUKUM MELAFADZKAN NIAT...insyaAllah mencerahkan..
Di dalamnya dijelaskan 11 argumentasi terpenting yang menunjukkan MUBAHNYA pelafalan niat...12 tanggapan beliau thd. sebagian kaum muslimin yang berpendapat bahwa melafalkan niat dalam ibadah adalah haram, bahkan bid’ah...tanggapan thd. pendapat yang mensunnahkan dan mewajibkan...DAFTAR NAMA PARA ULAMA YANG TIDAK MELARANG PELAFALAN NIAT..dan terakhir adalah pesan beliau ttg. penyikapan dalam adab/tata krama terhadap ikhtilaf ulama...