(Perspektif Kajian Lintas Budaya Dalam Berinteraksi)
Tanggal 13 Nopember 2011 setelah pulang dari rapat kerja(raker) LPM ARA AITA saya naik bus patas bersama sahabat-sahabat. Didalam bus inilah saya bertemu dengan seseorang yang kira-kira usianya 30 tahunan dan dia duduk satu baris dengan saya.
Prasangka awal ketika saya bertemu dengan dia, dan duduk satu baris dengan dia, saya percaya bahwa dia orangnya sopan, baik hati dan mudah bergaul dengan orang, karena raut mukanya murah senyum dan tidak kusut.
Dan yang paling nampak, perkiraan saya orang yang ada di dekat saya itu mudah bergaul dengan orang, salah satu bukti yang nampak ketika dia ikut menghitung karcis bus. Ketika saya mau membayar karcis bus, dia ikut menghitungnya karena saya membayar semua karcis dari sahabat-sahabat yang berjumlah sebelas orang, sehingga lumayan banyak.
Dari sinilah, maka bermulailah percakapan diantara kita, yang saya mulai dengan nanya tujuan, dari mana dan mau kemana? Ternyata dia dari jember mau pulang ke bangkalan.
Saya juga di tanya dari mana dan mau kemana? Saya juga bilang bahwa saya orang sumenep madura, tapi kuliahnnya di IAIN sunan ampel surabaya, dan sekarang dari acara raker di probolinggo. Ketika itu pula, yang dulunya pakai bahasa indonesia langsung berubah pakai bahasa madura setelah kita berdua tau bahwa kita satu suku, yakni sama-sama dari madura.
Selanjutnya percakapan lebih enak dan lebih seru, karena kita sama-sama pakai bahasa madura. Pembicaraan berlangsung sampai di porong sidoarjo, dia berkomentar tentang lumpur lapindo, dia tanya kenapa di samping itu banyak orang, bukannya di tempat itu genangan lumpur lapindo? saya jawab bahwa disana itu memang tempat genangan lumpur lapindo, dan disana juga dijadikan tempat pariwisata yang dikunjungi banyak orang. Bukannya di jauhi lumpur tersebut, malah dijadikan tempat pariwisata oleh sebagian orang yang berkunjung.
Disela-sela percakapan kita itu, saya tanya namanya siapa, Dia menjawab bahwa namanya mas Abdullah. Dan saya juga tanya ada perlu apa pergi ke jember? ternyata dijember ada keluarganya yang mau nikah.
Banyak hal yang kita bicarakan dengan menggunakan bahasa madura, salah satunya ialah alasan saya kuliah di surabaya. Orang yang lumayan cakep ini bertanya pada saya, kenapa saya sampai jauh-jauh kuliah ke surabaya, padahal di sumenep sendiri banyak kampus dan bahkan di madura tidak kekurangan kampus, kenapa sampai jauh-jauh kuliah di surabaya? saya menjawab ini masalah takdir tuhan.
Karena memang saya tidak pernah terpikirkan untuk kuliah di surabaya, akan tetapi karena tekad yang bulat dan ada cita-cita yang menggebu-gebu diantara saya dan keluarga, saya berangakat kuliah ke surabaya.
Saya juga katakan pada dia bahwa kalau SPP-nya sebenarnya IAIN murah. Tapi yang mahal itu ialah biaya hidupnya setiap hari, dan itu sangat dipengaruhi oleh individu itu sendiri. Kalau anaknya suka foya-foya maka akan sangat mahal sekali dan banyak habisnya. Tapi kalau anaknya tidak suka foya-foya dan sederhana, saya kira tidak banyak habisnya.
Sehingga di akhir percakapan kita, dia juga ingin anaknya dikuliahkan di IAIN sunan ampel surabaya. Karena dia juga berangkat dari keluarga yang menengah kebawah.
Sangat rame sekali percakapan kami berdua. Dan akhirnya kita sama-sama turun di terminal Bungurasi, setelah turun dari bus patas, saya mengajak mas Abdullah untuk foto bareng dengan saya. Dan hasilnya bisa dilihat sendiri.
Dari perkenlan ini saya dapat simpulkan bahwa raut muka, sikap yang ditampakkan oleh seseorang sangat mencerminkan kepribadiannya, sehingga saya ingat juga pada suatu makolah arab “Addhohir Ya Dullu Alal Batin”yang artinya “ yang dhohir itu atau yang nampak itu menunjukkan yang batin atau yang tidak nampak”.
Makolah arab ini sangat cocok jika kita kaitkan dengan cerita narasi diatas, sehingga kita paling tidak dapat menebak-nebak sifat seseorang meskipun kita tidak kenal terlebih dahulu pada orang itu. Pengalaman ini cukup berharga bagi saya karena saya dapat menebak sifat dan kepribadian seseorang sebelum saya kenal terlebih dahulu pada orang itu.
Kejadian ini dapat juga kita jadikam landasan bahwa untuk mengetahui sifat dan kepribadian seseorang, bisa dipahami dengan memahami sikap dan raut wajahnya.
Cerita narasi diatas dapat juga dijadikan landasan awal bagi konselor atau dapat di jadikan Term Of Refrence bagi kita sebagai calon konselor, sehingga ketika kita menghadapi masalah dari klien, maka untuk melakukan tretmentnya dapat juga dilandaskan pada raut muka, tutur kata dan sikapnya selama berinteraksi.
0
komentar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)