Rencana tentang Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya mau dirubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) sudah tidak asing lagi di telinga kita. Banyak dari kalangan mahasiswa yang kontra (menentang) terhadap isu perubahan tersebut, dan tidak sedikit pula yang pro (mendukung). Rencana itu sudah mulai dilakukan oleh pihak pimpinan IAIN, hal itu terbukti dengan adanya pembangunan gedung adab.
Ketika kita melihat fakta diatas, tentunya kita akan yakin bahwa rencana mulia itu akan segera terealisasikan. Disatu sisi hal itu memang sangat baik karena mungkin perubahan tersebut akan dimulai dari perubahan infrastruktur dulu, baru akan terjadi perubahan nama.
Terlepas dari itu semua, apakah perbaikan yang digembar gemborkan oleh pihak pimpinan IAIN Sunan Ampel Surabaya tersebut dapat berpengaruh terhadap mahasiswa?. Siapkah mahasiswa IAIN menyambut perubahan nama tersebut?
Pertanyaan itu yang sering menghantui pikiran saya, dan untuk menjawab ini semua kita harus cerdas dan teliti. Karena disisi yang lain, IAIN kurang mempersiapkan kwalitas mahasiswa dan kwalitas dosen. faktanya sekarang tidak ada pelatihan atau hal-hal yang sangat menunjang pembelajaran terhadap mahasiswa sehingga lebih pinter, cerdas, dan kritis. Dan juga mahasiswa sekarang sudah tidak suka lagi diskusi,mereka hanya belajar di kelas,padahal yang saya ketahui dan alami, kalau Cuma mengandalkan ruang kelas, kita tidak akan dapat apa-apa,karena belajar di kelas hanya dua puluh lima persen,dan belajar di luar kelas delapan puluh lima persen. Yang paling parah sekarang ialah mahasiswa sudah tidak punya skill dalam menulis, sudah tidak suka baca, ditambah lagi dosennya tidak berkwalitas.
Juga tidak dapat di pungkiri bahwa IAIN pada saat ini, ada dititik nadlir kematian, semakin tidak jelas harus menjadi apa dan harus memberi sumbangsih apa terhadap masyarakat, kemampuan umum tidak mumpuni, agama pun masih diragukan, akhirnya ketika sudah selesai kuliah (sarjana) banyak yang mengeluhkan pengetahuan yang didapat tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau tidak dapat digunakan di masyarakat sehingga mereka hanya menjadi sampah intelektual(pengangguran)di masyarakat(dikutip dari majalah Ara Aita,edisi 51/2007).
Dalam kondisi mahasiswa yang terpuruk seperti ini, masih pantaskah IAIN menjadi UIN
?Padahal setidak-tidaknya mahasiswa UIN itu, dituntut untuk menguasai dua bahasa, bahasa inggris dan bahasa arab, suka diskusi, pandai berwacana, suka membaca dan menulis. Sehingga outputnya jelas dan layak jual.
Untuk mengimbangi kondisi mahasiswa sekarang dengan mahasiswa ideal ketika berubah nama, maka saya kira para pimpinan IAIN tidak hanya melakukan perbaikan infrastruktur saja, akan tetapi juga melakukan perbaikan disemua lini, yang paling utama pengembangan SDM mahasiswa dan profesionalisme dosen, karena yang pasti kita semua tidak menginginkan IAIN ini, hanya berubah nama dan status saja, akan tetapi juga ada perubahan di segala aspek, baik SDM mahasiswanya maupun profesionalisme dosennya.
Sedangkan bagi mahasiswa harus selalu mengembangkan kapasitas dirinya, tidak hanya belajar ketika ada di ruangan kelas, tapi di luar kelas juga bisa digunakan untuk belajar. Banyak baca buku, Diskusi kelompok yang sudah menjadi tradisi di IAIN sejak zaman 90-an segera diulang lagi. Sehingga kalau nantinya sudah berubah nama jadi universitas, kita tidak canggung lagi menghadapinya wacana-wacana yang tidak sesuai dengan pemahaman kita.
Yang paling penting lagi, bagi mahasiswa ialah partisipasinya dalam rangka perubahan nama ini. Tidak hanya selalu menjadi pihak yang kontra terhadap kebijakan, karena saya yakin semua yang dilakukan oleh pimpinan IAIN sudah melalui pertimbangan yang sangat matang. Sehingga kalau misalkan cita-cita besar yang diimpikan IAIN selama ini didukung oleh semua pihak, maka saya kira akan cepat tercapai sesuai dengan harapan. Amin..
0
komentar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)