(Suku Madura Vs Suku Jawa)
Ini fakta dari sekumpulan orang dalam kelompok belajar, yang terdiri dari 4 orang, dua orang dari suku madura, sedangkan dua orang lainnya adalah dari suku jawa. Mereka berkumpul dan belajar filsafat bersama-sama.
Empat orang ini di pasrahkan oleh lembaga pers mahasisiwa (LPM) ara aita kepada salah satu dosen fakultas dakwah, sehingga dalam pembelajarannya itu di bimbing oleh dosen fakultas dakwah yang sangat profesional dan paham di bidang filsafat.
Dari kelompok belajar ini tentunya masih banyak hal yang menjadi masalah, mulai dari latar belakang yang berbeda, cara bicara, bahasa yang digunakan, sampai pada kesemangatan dalam belajar.
Dari latar belakang disini, mereka dari suku yang berbeda, yakni suku jawa yang terkenal dengan ke halusannya, dan suku madura yang terkenal dengan kekerasannya. Sehingga ketika mereka berkumpul seringkali ada konflik kecil yang timbul, seperti ketika mengemukakan argumen, yang dari suku madura cendrung tidak mau ngalah meskipun hal itu kurang rasional, sedangkan dari suku jawa juga tidak mau mengalah dalam berpendapat, karena mereka pikir bahwa pendapat dari suku madura disini kurang rasional tapi masih berusaha di rasionalkan, atau tidak ada hubungannya dengan pembahasan, tapi berusaha dihubungkan. Sehingga disini peperangan pendapat dari para filsuf sering kali terjadi dalam forum.
Ketika hal ini terjadi maka dibutuhkan pembimbing yang bisa meluruskan dan memahamkan kedua belah pihak ini, sehingga mereka sama-sama sadar bahwa pendapat yang dari pembimbing inilah yang lebih rasional, dan hal itu bisa diterima oleh kedua belah pihak.
Disamping itu pula, sebelum memulai belajar yang pertama kalinya, mereka sudah berprinsip bahwa sekuat dan sebesar apapun perbedaan diantara mereka tidak boleh menjadi salah satu penyebab adanya konflik yang bisa menghancurkan kelompoknya, dan hal ini ternyata terbukti, ketika ada konflik intern dalam kelompok itu yakni masalah cewek, mereka dapat mengatasinya secara bersama-sama. sehingga sebesar apapun konflik di antra mereka tidak akan menjadi pemisah. Karena ketika mereka sadar tujuan mereka berkumpul dan belajar dirumahnya dosen, egoisme individu dan egoisme suku hilang dengan sendirinya. Dari kesadaran inilah perasaan marah dan mangkel bisa diredam dan hilang dengan sendirinya.
Salah satu masalah yang biasa terjadi dalam kelompok itu ialah dalam bahasa, karena orang madura sangat kental dengan bahasa madura dan orang jawa juga sangat kental dengan bahasa jawanya.
Untuk mengatasi itu, disini disepakati pakai bahasa indonesia yang baik dan benar, sehingga komunikasi mereka tidak luwes dan agak kaku, tidak seperti pergaulannya setiap hari, akan tetapi dengan berjalannya waktu dan semester mereka semakin tinggi, maka disini ada perubahan yang tak disangka-sangka.
Anak yang dari suku Madura sudah mulai mengerti pada bahasa jawa dan sedikit demi sedikit sudah bisa berbicara dengan bahasa jawa, meskipun sangat kasar bahasa jawanya karena mereka pakai bahasa jawa pergaulan sehari hari. Dan mereka tidak bisa memakai bahasa jawa kromo inggil.
Sedangakan anak yang dari suku jawa sudah mulai mengerti bahasa Madura, karena ketika anak Madura bicara mereka sering mendengarkan, sehingga dia bisa mengerti pada bahasa Madura, tapi dia tidak bisa berbicara dengan bahasa Madura.
Disadari atau tidak, itulah merupakan salah satu kehebatan orang Madura, mereka bisa mengerti dan berbicara bahasa jawa, sedangkan kalau orang jawa mengerti tapi tidak bisa berbicara dengan bahasa Madura.
Dari sini kemudian, pergaulan mereka sudah tidak kaku dan tidak selalu pakai bahasa Indonesia, tapi mereka timbale balik, kadang pakai bahasa jawa, kadang juga pakai bahasa Madura. Tapi ketika menerangkan ketika kajian filsafat mereka lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia, supaya bisa di pahami kedua belah pihak dan melatih presentasi dan berbicara bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Selanjutnya, ditinjau dari kesemangatan dalam belajar, anak yang dari suku Madura cendrung lebih semangat, karena mereka sadar bahwa mereka merantau sampai jauh kesurabaya hanya untuk belajar, sehingga anak yang dari Madura ini selalu ikut terus menerus kajian filsafat tersebut, merasa terbebani ketika tidak ikut satu kali saja.
Mereka yang suku Madura ini meskipun sakit, tetap saja ikut kajian, karena mereka sadar tujuan utamanya ke Surabaya hanya untuk belajar, belajar dan belajar. Seakan akan tak ada rasa lelah ketika menuntut ilmu.
Dari kelompok belajar filsafat ini kita bisa menyimpulkan bahwa dari kedua suku disini sangat berbada, akan tetapi ketika tujuan dan prinsip itu sama, maka tak akan ada konflik atau masalah, karena setiap masalah akan ada penyelesaiannya.
Dari sini kita juga dapat menarik kesimpulan bahwa dua suku tadi sudah melakukan peleburan budaya dan menciptakan budaya lain yang hal itu bisa diterima antara kedua belah pihak, sehingga disini sama-sama enak dan sama-sama nyaman dalam berinteraksi. Sehingga sampai sekarang kelompok belajar ini masih ada dan masih aktif.
Dan kebersamaan kedua suku, semakin hari semakin tidak dapat dilepaskan dan mereka sudah teruji dalam kesolidannya, sehingga mereka sangat kuat ketika mereka bersama-sama, dan mereka sadar bahwa perbedaan ini tidak boleh dijadikan penghalang untuk solidnya kelompok mereka, akan tetapi mereka semua sadar bahwa perbedaan suku merupakan senjata utama untuk menyelesaikan semua masalah yang dihadapi mereka.
0
komentar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)